Translate

Rabu, 19 Februari 2014

Reza, Anak Loper Koran yang Pandai Berhitung



Haii, reader. Selamat datang di blog kami, Forum Perempuan BEM Universitas Airlangga Surabaya. Pada kesempatan kali ini, saya ingin berbagai cerita dan sharing pikiran tentang satu fakta kasus yang sudah lama sekali menjadi permasalahan umum bangsa Indonesia. Meskipun begitu, masalah ini seakan kebal dari waktu yang terus berjalan dalam menjadikannya usang.
Cerita Reza : Anak Loper Koran yang Pandai Berhitung
Pada hari Sabtu kemaren, tepat di awal bulan Februari 2014 cerita ini terjadi.
Reza, siswa kelas 2 SDN Pacar Keling 7 Surabaya, terlihat lelah menyodorkan koran2 Surya nya yang belum juga kunjung habis terjual hingga waktu hampir memasuki maghrib. Dengan memaksakan tubuh kecilnya terus bergerak, Reza mencoba lagi peruntungannya di suatu depot makan dekat stasiun Gubeng. Takdir pun menggiring kaki kecil itu ke arah meja tempat saya dan teman makan. Saat itu hampir saja kami akan meninggalkan meja dan pulang. Tapi kedatangan Reza di meja kami menahan keinginan tersebut untuk sekedar sedikit bercakap ringan dan membeli koran jajakannya.
 Namun tiada disangka, perbincangan kami mengalir begitu lancar dan seru. Semakin lama, saya dan teman tertarik untuk mengajaknya bicara lebih lama. Tanpa pikir panjang, teman saya menawari Reza untuk duduk dan makan bersama kami. Anak lelaki kecil itu jelas sekali tidak bisa menyembunyikan kesenangannya terhadap tawaran makan gratis tersebut.
Layaknya anak kelas dua sekolah dasar lainnya, Reza pun dengan polos menceritakan banyak hal. Termasuk tentang opininya tentang belajar dan jualan koran. Reza sendiri yang tinggal di daerah Ambengan, Surabaya ternyata merupakan salah satu anak didik komunitas peduli anak jalanan, Save Street Child Surabaya rayon Ambengan. Ketika ditanya kesannya disana, bukan jawabannya yang seperti saya harapkan yang saya dengar dari Reza. Reza tidak senang disana. Meskipun kakak-kakak pengajarnya baik . Alasan ketidak senangan Reza ternyata diakui nya datang dari sesama murid, murid yang lebih besar darinya, murid kelas lima yang sering sekali mengejek dirinya entah karena alasan apa (Reza tidak menerangkannya dengan detail).  Dari celoteh-celotehannya selama makan bersama kami, Reza menggambarkan dirinya sebagai anak laki-laki yang pemberani, easy-going, meskipun ia juga mengakui kalau dirinya mudah marah dan ngambek.
Saya dan teman terus menanggapi berbagai celotehannya tersebut. Sebagai mantan pengajar di komunitas tersebut, saya tau percis tipikal murid-murid yang menjadi asuhan SSCS. Berlatar belakang anak jalanan, mereka memiliki lingkungan hidup yang keras yang membentuk pribadi mereka menjadi anak yang keras pula. Ucapan kotor dan segala macam bentuk cacian yang seharusnya tidak mereka kenal menjadi suara lantang mereka sehari-hari. Membangkitkan semangat dan menjaga semangat itu tetap menyala pun menjadi satu tantangan tersendiri bagi para pengajar di Komunitas Save Street Child Surabaya. 
Meskipun begitu, Reza mengakui dirinya lumayan pintar. Dengan bangga dia menyebutkan peringkatnya di kelas yang menduduki urutan 10 dari 37 murid yang ada. Benar saja, Reza memang pintar, terlebih untuk soal hitung-hitungan. Matematika memang menjadi mata pelajaran kesukaannya.  Hal tersebut kami buktikan sendiri. Teman saya mengetesnya dengan memulai memberikan soal hitungan sederhana. Di awali dengan soal pertambahan 2 angka kemudian meningkat menjadi soal perkalian hingga menuju soal kombinasi yang panjang. Semua soal bisa Reza jawab dengan cepat dan tepat. Bahkan Teman yang memberikan soal tersebut pada dirinya saja masih meghitung dalam hati. Menyaksikan ketangkasaan Reza dalam menjawab soal yang diberikan dengan percaya diri benar-benar membuat saya tertegun diam. Yang benar saja. Anak seperti Reza ini aset negara. Kemampuan berhitung dengan cepatnya itu bisa menjadikan dia ahli matematika terbaik. Kemampuan luarbiasa tersebut tidak bisa selamanya melekat dalam diri Reza kalau tidak sengaja dijaga dan dikembangkan. Sementara untuk menjaga dan mengembangkan kemampuan langka itu dibutuhkan lingkungan yang kondusif yang berkelanjutan.
Pertemuan dengan Reza di depot makan tersebut membuat saya tidak berhenti berpikir.  Pendidikan menyeluruh adalah cita-cita negara sejak lama. Dan hingga saat ini, cita-cita tersebut belum juga terlihat terwujud.  Banyak sekali pihak yang berusaha keras  mengupayakan cita-cita ini terwujud. Mulai dari pemerintah , swasta, sampai dengan kelompok-kelompok individual yang membentuk komunitasnya sendiri, seperti Komunitas Peduli Anak Jalanan- Save Street Child ini. Kelompok komunitas ini ada karena besarnya kepedulian terhadap anak-anak jalanan di Indonesia yang tidak bisa menikmati indahnya dunia pendidikan karena tekanan ekonomi yang terjadi pada orangtua mereka dan membuat tekanan tersebut dilempar pada mereka.  Melihat fakta Reza, saya jadi berpikir, jika yang dirasakan Reza tersebut juga dirasakan oleh anak-anak didik lainnya, maka usaha kami untuk mewujudkan pendidikan menyeluruh tidak akan pernah mencapai garis finish. Betapa tidak, permasalahannya ekonomi yang melanda mereka benar-benar memiliki pengaruh kuat dan besar. Meskipun pendidikan gratis sudah mampu kami berikan pada mereka, mereka pun akan tetap mengabaikannya dan memilih kembali ke jalan demi lembaran-lembaran ribu rupiah. Lalu bagaimana masalah ekonomi ini harus diselesaikan?  Harus berapa lama lagi anak-anak Indonesia harus terjauhkan dari dunia pendidikan?  Sempat terpikirkan oleh saya, jika begitu permasalahannya, bagaimana jika orang tua anak-anak ini diberikan gaji? Bagi mereka yang menyekolahkan anaknya dan membebaskan dari kewajiban mencari lembar ribu rupiah, waktu si anak yang awalnya digunakan untuk berada dijalan dibeli dan dibayarkan ke orangtua mereka. Sebagai kompensasinya, si anak haruslah berada di sekolah dan belajar, tanpa memikirkan untuk mencari lembar ribu rupiah di jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar